Direktorat Jenderal Anggaran

Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, pada kick off Presidensi G20 di Nusa Dua, Bali menyatakan Indonesia akan menjadi contoh bagi negara lain dalam hal pembiayaan ekonomi hijau. Ekonomi hijau adalah upaya menghasilkan produk yang lebih ramah lingkungan dan mendukung pengurangan emisi karbon. Momentum Presidensi G20 akan dimanfaatkan oleh Indonesia untuk unjuk gigi dalam pembiayaan rendah karbon dan berkelanjutan sekaligus mengundang investasi pada energi baru dan terbarukan. Indonesia telah berkomitmen akan menyusun mekanisme transisi energi untuk mengakselerasi sumber energi baru yang lebih ramah lingkungan.
Pemanfaatan energi baru dan terbarukan telah banyak diterapkan di berbagai negara karena semakin menipisnya cadangan bahan bakar yang berasal dari fosil. Tony Hayward, CEO British Petroleum, bahkan secara ekstrem menyatakan cadangan minyak bumi dunia hanya dapat bertahan selama 42 tahun ke depan. Selain itu, bahan bakar fosil dinilai berdampak buruk bagi kesehatan dan lingkungan serta menyebabkan tingginya pencemaran udara terutama di daerah perkotaan. Sebagai contoh di Jakarta, pada bulan Oktober 2021 nilai rata-rata konsentrasi particulate matter 2,5 (polutan berbahaya bagi pernafasan berukuran kurang dari 2,5 mikrometer) di udara mencapai 26,9 mikrogram/m3 atau lima kali lipat lebih dari ambang batas yang ditetapkan oleh WHO sebesar 5 mikrogram/m3. Berdasarkan hal tersebut, beberapa negara seperti Jepang mengambil kebijakan pelarangan penjualan mobil berbahan bakar minyak untuk selanjutnya akan beralih sepenuhnya ke mobil listrik pada tahun 2035.
Jacques Yves Cousteau, seorang ilmuwan asal Prancis pernah berkata: &ldquo;Dalam sebagian besar sejarah, manusia harus melawan alam untuk bertahan hidup. Namun di abad ini mereka mulai menyadari bahwa untuk bertahan hidup mereka harus melindungi alam.&rdquo; Saat ini hampir 95 persen kebutuhan energi Indonesia berasal dari bahan bakar fosil, yang terdiri dari 50 persen bahan bakar minyak (BBM), dan sisanya adalah gas dan batu bara. Sektor transportasi merupakan pemakai BBM terbesar, disusul sektor rumah tangga, industri, dan pembangkit listrik. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, jumlah kendaraan bermotor di Indonesia pada tahun 2020 telah mencapai 136,13 juta unit kendaraan. Besarnya emisi gas rumah kaca dari pembakaran energi BBM sektor transportasi ini berdampak pada kenaikan tingkat pemanasan global yang dapat menyebabkan perubahan iklim ekstrem. Untuk itu diperlukan energi alternatif selain BBM yang lebih ramah lingkungan dan tidak merusak lingkungan (green energy), seperti baterai mobil listrik.
Baterai dapat digunakan sebagai sumber energi alternatif alat transportasi seperti mobil listrik. Mobil listrik merupakan salah satu sarana transportasi yang dapat memenuhi kebutuhan mobilitas masyarakat, namun tetap ramah lingkungan karena tidak memiliki polusi atau emisi gas buang, sehingga dapat membantu mengurangi dampak pemanasan global. Mobil listrik pertama kali diperkenalkan oleh Robert Anderson dari Skotlandia pada tahun 1832-1839, namun karena saat itu harga BBM relatif murah, masyarakat dunia lebih memilih mengembangkan mobil berbahan bakar minyak. Dengan semakin menipisnya cadangan BBM dan semakin mahalnya harga BBM, ditambah dengan isu kewajiban pemerintah untuk melestarikan lingkungan sebagaimana yang tertuang dalam Sustainable Development Goals (SDGs), akhir-akhir ini wacana pengembangan mobil listrik kembali mengemuka. Hal ini karena energi listrik lebih mudah dihasilkan dari berbagai macam sumber, termasuk dari sumber energi baru dan terbarukan yang dapat mengurangi emisi karbon.
Salah satu wujud komitmen pemerintah Indonesia untuk mengurangi emisi karbon sebagai aksi nyata perlindungan terhadap lingkungan adalah dengan diterbitkannya Perpres 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai Untuk Transportasi Jalan. Perpres tersebut mengatur pengendalian kendaraan berbahan bakar fosil secara bertahap dan mendorong pengembangan serta inovasi industri kendaraan listrik berbasis baterai. Pemerintah Indonesia sangat mendorong penggunaan mobil listrik. Dalam Pertemuan Tahunan Industri Jasa Keuangan 2020, Presiden Jokowi pernah menyatakan bahwa Ibu Kota Negara baru, Nusantara, akan dibangun dengan sistem transportasi canggih dan ramah lingkungan berbasis teknologi otonom, sehingga hanya akan berisi kendaraan listrik dan melarang penggunaan kendaraan konvensional berbahan bakar minyak. Setali tiga uang, momentum Presidensi G20 perlu dimanfaatkan betul oleh Indonesia untuk mewujudkan proyek kendaraan ramah lingkungan sebagai dukungan bagi ekonomi hijau, melalui pengembangan mobil listrik nasional bertenaga baterai, mengingat sejumlah riset telah menyatakan bahwa biaya per kilometer mobil listrik (termasuk biaya ekses negatif terhadap lingkungan) relatif murah jika dibandingkan dengan mobil konvensional.
Beberapa strategi yang dapat ditempuh dalam rangka mewujudkan mimpi mobil listrik nasional, antara lain, pertama, menemukan alternatif sumber pembangkit listrik yang lebih ramah lingkungan. Saat ini, sebagian besar sumber pembangkit listrik di Indonesia masih menggunakan batu bara. Menurut Institute for Essential Service and Reform (IESR), dalam 10 tahun terakhir, 88% pasokan listrik masih berasal dari pembangkit listrik berbahan bakar fosil, dengan komposisi 60% batu bara, dan sisanya mayoritas berasal dari minyak dan gas. Untuk itu, diperlukan sumber pembangkit listrik alternatif yang lebih ramah lingkungan, seperti tenaga surya dan tenaga kincir angin, yang begitu melimpah membentang di sepanjang pantai dan gunung di Indonesia. Hal ini penting, agar jangan sampai hanya terjadi perpindahan polusi dari semula polusi yang berasal dari BBM, menjadi polusi batu bara (untuk menghasilkan listrik guna mengisi ulang baterai mobil listrik).
Kedua, meningkatkan pemberian insentif baik bagi produsen maupun pengguna mobil listrik. Bentuk pemberian insentif ini dapat berupa pembebasan/keringanan pajak, pembebasan/keringanan tarif tol, pembebasan dari ketentuan pelat nomor ganjil-genap, dan pemberian diskon tarif listrik, sebagai upaya percepatan pengembangan mobil listrik nasional. Ketiga, Perusahaan Listrik Negara (PLN) sebagai pihak yang ditunjuk untuk menjamin ketersediaan listrik oleh Perpres 55/2019 harus menjamin ketersediaan Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum yang memadai. Selain itu, PLN harus menjamin pula penyediaan layanan dasar kelistrikan lain agar tetap berjalan normal, dapat menahan potensi shock, dan tidak menyebabkan aliran daya berkurang atau terjadi black out (mati lampu).
Keempat, mengembangkan inovasi teknologi dan ekosistem daur ulang baterai mobil listrik. Pada umumnya, baterai mobil listrik hanya dapat bertahan 3 hingga 10 tahun. Baterai yang sudah tidak terpakai tersebut akan menjadi sampah beracun dan limbah yang berbahaya bagi kesehatan manusia karena kandungan logam berat dan zat berbahaya seperti merkuri, lithium, mangan, timbal, dan nikel. Untuk itu, dibutuhkan pengembangan inovasi teknologi dan ekosistem daur ulang baterai yang baik, agar tidak menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan, misalnya melalui penggunaan green battery. Green Battery adalah baterai berkinerja tinggi, namun tidak beracun, tidak berkarat, lebih ramah lingkungan, misalnya baterai berbahan molekul organik kuinon yang sedang dikembangkan oleh Universitas Harvard.
Green battery mampu menyimpan energi dalam jumlah yang lebih besar untuk berbagai kebutuhan sehari-hari seperti perumahan dan peruntukan komersial lainnya. Green battery ini menyimpan energinya dalam cairan yang disimpan dalam semacam tangki-tangki eksternal. Tangki-tangki eksternal ini bertugas mengatur kapasitas energi serta hardware yang menjalankan proses elektrokimia baterai. Berbeda dengan baterai konvensional yang komponen utama senyawa elektrolitnya terbuat dari ion-ion logam seperti vanadium yang dilarutkan dalam asam dan dapat berbahaya bagi lingkungan, komponen elektrolit dalam green baterry ini terbuat dari molekul organik yang disebut kuinon. Kuinon bertugas untuk menyuplai muatan negatif, sedangkan muatan positif tetap disuplai oleh semacam bantalan elektrolit konvensional sebagaimana yang biasa dipakai oleh baterai pada umumnya. Diharapkan green battery ini mampu menghasilkan energi yang jauh lebih besar, murah dan lebih ramah terhadap lingkungan.
Diharapkan melalui bauran strategi tersebut, mimpi mobil listrik nasional tidak hanya berhenti sebatas mimpi, namun benar-benar terwujud sebagai salah satu dukungan terhadap program ekonomi hijau, yakni pembiayaan rendah karbon dan meningkatkan investasi di bidang energi baru dan terbarukan yang menjadi salah satu agenda utama G20 pemerintah Indonesia. Bukankah menurut Oprah Winfrey, &ldquo;Perjuangan terbesar dalam hidup adalah perjuangan meraih mimpi&rdquo;, bukan? Semoga melalui sinergi dari seluruh stakeholder terkait, mimpi mobil listrik nasional yang ramah bagi kesehatan dan lingkungan akan terwujud nyata di kemudian hari.