Direktorat Jenderal Perbendaharaan

Perhatian yang tinggi dan arahan yang jelas dari Presiden, Menteri Keuangan dan Menteri Dalam Negeri terkait dengan belanja negara utamanya belanja pegawai, belanja pengadaan barang dan jasa serta khususnya belanja daerah menjadi alasan utama perlunya dilakukan kajian yang lebih mendalam terkait obyek tersebut di pemerintah daerah di lingkungan provinsi Lampung. Lebih lanjut, temuan-temuan audit BPK yang tertuang dalam Laporan Hasil Pemeriksaan BPK untuk tahun anggaran 2023 masih menyoroti terkait pengelolaan uang daerah yang masih kurang tepat padahal akun kas daerah adalah kunci utama dari pengelolaan keuangan daerah.
Keterbaruan dari penelitian ini adalah mencoba membangun dan menguji hubungan antara rasio kemandirian dan kecukupan kas dengan penerapan asas legalitas pada peraturan daerah serta pengujian ketaatannya dengan peraturan perundang-undangan sesuai dengan hierarki peraturan perundang-undangan.
Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui bagaimana regulasi pemerintah daerah terkait pengelolaan uang daerah oleh pemerintah daerah sudah mengikuti asas legalitas dengan menarik level ketaatannya dengan peraturan-peraturan yang mengatur hal yang sama yang kedudukan peraturannya lebih tinggi, mengetahui apakah kadar ketaatan peraturan daerah dan penerapan asas legalitasnya terkait pengelolaan keuangan daerah berhubungan dengan rasio kemandirian dan kecukupan kas pemerintah daerah di lingkup provinsi Lampung, mengetahui rasio kecukupan kas di triwulan I, triwulan II, dan triwulan III tahun 2024 di lingkup provinsi Lampung, dan mengetahui rasio kemandirian di triwulan I, triwulan II, dan triwulan III tahun 2024 di lingkup provinsi Lampung.
Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif dan kuantitatif. Metode Kualitatif yang digunakan adalah analisis dokumen berupa regulasi secara vertikal dan horizontal. Analisis vertikal dan horizontal merupakan upaya analisis harmonisasi regulasi, dimana jika analisis vertikal merupakan kesesuaian antara suatu peraturan dengan peraturan-peraturan diatasnya sesuai dengan prinsip Lex superiori derogat legi inferiori dan analisis horizontal yaitu analisis antara regulasi yang sederajat dan kedua jenis analisis tersebut melihat prinsip-prinsip dalam hierarki peraturan perundang-undangan sesuai dengan UU Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Selanjutnya, penelitian ini menggunakan metode survei yang berasal dari sudut pandang pemerintah daerah atas Pengelolaan Keuangan Daerah. Analisis dokumen yang kedua adalah dengan melihat kondisi fiskal secara keseluruhan di Provinsi Lampung dengan menjelaskan posisi surplus/defisit, rasio kemandirian keuangan daerah yang didukung oleh rasio solvabilitas anggaran, rasio solvabilitas operasional, Keseimbangan Operasi Neto (NOB), dan Keseimbangan Operasional Bruto (GOB) berdasarkan Government Financial Statistic Triwulan III tahun 2024. Metode kedua yang digunakan adalah pendekatan kuantitatif deskriptif untuk mendapatkan kesimpulan yang berfokus pada analisis data numerik.
Temuan yang didapatkan dengan melihat hierarki peraturan perundang undangan terkait pengelolaan keuangan daerah maka aturan utamanya adalah PP 12/2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah alih alih PP 37/2009 tentang Uang Negara/Daerah yang belum dicabut dengan aturan apapun. Namun dengan mengikuti dengan mengikuti asas hukum Lex Posterior Derogat Legi Priori maka tidak ada potensi konflik dari kedua peraturan tersebut. Terkait belanja daerah, pemerintah daerah umumnya sudah memiliki peraturan terkait mandatory spending, perjalanan dinas dan standar biaya belanja namun sebagian pemerintah daerah belum memiliki peraturan daerah yang mengatur komposisi Belanja Pegawai serta kriteria dan parameter dalam menentukan belanja-belanja yang ada di Belanja Pegawai. Terkait mandatory spending belanja pegawai, hasil survei menjelaskan bahwa pemerintah daerah telah mengikuti amanat undang-undang 1/22 tentang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah, namun semua pemerintah daerah di provinsi Lampung memiliki belanja pegawai di atas ketentuan 30% dengan melihat angka perbandingan antara belanja pegawai dengan total belanja daerah
Kondisi Kemandirian pemerintah daerah di lingkup provinsi masih dapat dioptimalkan lagi apabila melihat rasio kemandirian di triwulan III tahun 2024 menurut GFS sebesar 10,57% yang masih di bawah rasio kemandirian para tetangganya seperti provinsi Bengkulu sebesar 11,81%, provinsi Sumatera Utara sebesar 11,25%, provinsi Sumatera Barat sebesar 20,44% dan provinsi Sumatera Selatan sebesar 17,44% atau jika diperbandingkan dengan provinsi Kalimantan Selatan sebesar 19,38% dan provinsi Jawa Barat sebesar 39,38%. Kondisi kemandirian juga bisa dilihat dari rasio solvabilitas anggaran dan operasional di laporan GFS triwulan III tahun 2024. Rasio solvabilitas anggaran sebesar 68,57% menunjukkan bahwa pemerintah daerah masih bisa meningkatkan kinerjanya untuk meningkatkan pendapatan agar dapat menutupi belanja pemerintah daerah. Masukan ini juga bercermin pada perbandingan dengan provinsi lain seperti provinsi Sumatera Selatan sebesar 129,73%, provinsi Sumatera Utara sebesar 91%, provinsi Bengkulu sebesar 124,30%, dan provinsi Kalimantan Selatan sebesar 137,89%. Berbicara terkait kemandirian juga dapat dilihat dari rasio solvabilitas operasional di GFS yang mengukur kemampuan pemerintah daerah menghasilkan pendapatan untuk menutupi belanja operasionalnya. Rasio solvabilitas yang didapatkan di kisaran 89,95% yang artinya masih ada 10,05% beban operasional pemerintah daerah yang belum dapat ditutupi oleh pendapatan. Capaian ini jika dibandingkan dengan provinsi lain maka masih tipis di atas provinsi Bengkulu sebesar 86,41%. Namun demikian, rasio yang dicapai ini masih di bawah provinsi Sumatera Selatan sebesar 113,47%, provinsi Sumatera Utara sebesar 93%, provinsi Bengkulu sebesar 86,41%, dan provinsi Kalimantan Selatan sebesar 130,18%.
Kondisi surplus di temukan di analisis surplus/defisit di GFS jika dibandingkan antara total pendapatan (saldo kas berjalan ditambah dengan pendapatan asli daerah dan transfer dari pemerintah pusat dengan total belanja. Hal ini sejalan dengan rasio kecukupan kas yang disusun berdasarkan perbandingan antara saldo kas di daerah yang berasal dari saldo berjalan ditambah dengan pendapatan asli daerah dan transfer ke daerah. Begitu juga dengan nilai NOB dan GOB di GFS per Triwulan III 2024 yang sejalan juga dengan rasio kecukupan kas yang memperhitungkan semua unsur penerimaan (saldo kas berjalan ditambah dengan pendapatan asli daerah dan transfer dari pemerintah pusat)
Berdasarkan hasil penelitian ini, rekomendasi yang dapat diberikan antara lain:
<ol>
<li>Hal-hal yang dapat dilakukan untuk meningkatkan pendapatan daerah, pemerintah daerah di lingkup provinsi lampung memilki peluang untuk meningkatkan jumlah pendapatanya dengan meningkatkan kualitas tata kelola penerimaan dengan melakukan pengaturan terkait 1) tata kelola investasi uang daerah dalam bentuk peraturan daerah sesuai dengan amanat pasal 8 PP 39/2007; 2) tata kelola penagihan piutang daerah sesuai dengan amanat pasal 9 PP 39/2007; 3) kriteria dan persyaratan dalam penunjukan bank umum yang dapat melayani penerimaan dan/atau pengeluaran uang serta skema perjanjiannya (dari sini dimungkinkan untuk mengoptimalkan pendapatan dari bunga atau yang lain); 4) strategi manajemen kas untuk mengatasi kekurangan kas maupun untuk menggunakan kelebihan uang kas; 5) tata kelola penjualan surat utang dalam kerangka pengelolaan keuangan daerah.</li>
<li>Pemda agar mengoptimalkan peraturan daerah yang sudah ada dan mengatur bagian dari pendapatan dan belanja daerah yang belum dituangkan dalam peraturan daerah sehingga pemerintah memiliki legitimasi yang kuat untuk menjalankannya berdasarkan asas legalitas. Salah satu peraturan daerah yang harus di susun adalah yang mengatur komposisi Belanja Pegawai serta kriteria dan parameter dalam menentukan belanja-belanja yang ada di Belanja Pegawai selain yang telah diatur di mandatory spending, standar harga satuan regional serta perjalanan dinas</li>
<li>Pemda perlu mengidentifikasi potensi pajak dan retribusi baru, seperti pajak daerah berbasis digital dan optimalisasi aset daerah dalam rangka diversifikasi PAD. Penguatan kerja sama dengan sektor swasta dalam pengelolaan aset daerah juga dapat dilakukan untuk meningkatkan pendapatan non-pajak. Selain itu, Pemda dapat memberikan insentif bagi investor yang berkontribusi dalam peningkatan PAD, seperti sektor pariwisata, industri kreatif, dan UMKM, diikuti dengan penyusunan regulasi yang lebih kondusif bagi investasi local, dalam rangka peningkatan PAD.</li>
<li>Mengkaji dan melakukan evaluasi ulang atas komposisi per jenis belanja, sesuai mandatory spending, serta proporsi setiap jenis belanja untuk memastikan efisiensi pengeluaran. Pembatasan perekrutan tenaga honorer dan pengalokasian tenaga kerja yang lebih efektif berdasarkan kebutuhan daerah dapat dilakukan agar alokasi belanja pegawai tidak memiliki proporsi yang berlebih.</li>
<li>Merencanakan anggaran yang efektif dan efisien sejalan dengan prioritas pembangunan, seperti peningkatan porsi belanja modal guna mendukung infrastruktur publik dan pengembangan ekonomi daerah. Selain itu, pengurangan belanja yang kurang produktif, seperti perjalanan dinas yang tidak berdampak langsung pada pelayanan publik juga dapat dilakukan.</li>
<li>Penerapan Sistem Anggaran Berbasis Kinerja (ABK) dilakukan dengan melakukan evaluasi efektivitas belanja daerah dengan sistem anggaran berbasis hasil (outcome-based budgeting). Dalam hal ini, Pemda perlu menetapkan indikator kinerja yang jelas untuk memastikan belanja publik berdampak langsung pada kesejahteraan masyarakat.</li>
<li>Pemda perlu membangun sistem administrasi yang lebih efisien untuk mempercepat penyampaian dokumen anggaran ke pemerintah pusat. dalam rangka penyaluran transfer daerah, serta perlu adanya regulasi terkait reward and punishment kepada Pemda dengan kinerja administrasi anggaran yang baik..</li>
<li>Penguatan manajemen kas pada Pemda dapat dilakukan dengan menerapkan sistem proyeksi kas berbasis data historis untuk mengantisipasi potensi defisit. Serta melakukan optimalisasi atas idle cash untuk investasi daerah atau pembayaran kewajiban keuangan yang lebih strategis. Selain itu, pemda perlu didorong memiliki laporan keuangan interim yang diterbitkan secara periodik yang seharusnya dapat dipublikasikan untuk meningkatkan akuntabilitas dan transparansi dalam pengelolaan keuangan daerah.</li>
<li>Pemda perlu meningkatkan pengawasan terhadap arus kas daerah dengan mekanisme audit kas secara berkala untuk memastikan keseimbangan antara penerimaan dan pengeluaran, dan menerapkan kebijakan buffer cash (dana cadangan) untuk mengantisipasi keterlambatan pendapatan daerah atau transfer pusat. Pemda perlu didorong untuk memiliki peraturan daerah yang mengatur terkait pengawasan fungsional terhadap pengelolaan keuangan daerah oleh aparat pengawasan fungsional dan peraturan daerah mengenai pengendalian internal terhadap pengelolaan keuangan daerah.</li>
<li>Evaluasi APBD secara berkala dengan sistem early warning dapat dilakukan dengan menerapkan sistem monitoring berbasis indikator keuangan untuk mendeteksi potensi defisit lebih awal, serta melakukan revisi anggaran secara lebih fleksibel berdasarkan perkembangan realisasi pendapatan daerah.</li>
</ol>

ASAS LEGALITAS PERATURAN DAERAH DALAM PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH, RASIO KEMANDIRIAN, DAN KECUKUPAN KAS PADA PEMERINTAH DAERAH LINGKUP PROVINSI LAMPUNG